Fungsi Rumah Potong Hewan
Rumah Potong Hewan yang selanjutnya disebut dengan RPH adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan desain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan bagi konsumsi masyarakat umum (Permentan No. 13/2010 tentang RPH).
Rumah Potong Hewan adalah unit pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging yang aman, sehat, utuh, dan halal, serta berfungsi sebagai sarana untuk melaksanakan:
a) Pemotongan hewan secara benar, (sesuai dengan persyaratan kesehatan masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan dan syariah agama);
b) Pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dipotong (ante-mortem inspection) dan pemeriksaan karkas, dan jeroan (post-mortem inspektion) untuk mencegah penularan penyakit zoonotik ke manusia;
c) Pemantauan dan surveilans penyakit hewan dan zoonosis yang ditemukan pada pemeriksaan ante-mortem dan pemeriksaan post-mortem guna pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit hewan menular dan zoonosis di daerah asal hewan.
Pada pasal 62 UU 18/2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan dinyatakan, bahwa pemerintah daerah kabupaten/kota wajib memiliki rumah potong hewan yang memenuhi persyaratan teknis. Dari pernyataan ini, jelaslah bahwa undang-undang mengamanatkan kepada pemerintah daerah untuk memenuhi persyaratan teknis RPH di wilayahnya.
Faktanya, Fungsi RPH sebagaimana diharapkan masih terabaikan. Para pengusaha jagal (pemotong ternak) masih berfikir sangat sederhana, yaitu pemotongan ternak dan prosesing daging dilakukan asal halal menurut syariat Islam. Sesungguhnya dalam proses pemotongan, ternak perlu diistirahatkan dengan waktu yang cukup, dan perlakuannya tidak boleh “dilakukan penyiksaan”. Seharusnya ternak sebelum dipotong dalam keadaan istirahat, dimandikan dan dipotong pada keadaan tenang sehingga proses ketegangan otot dapat dihindarkan
Sering sekali proses pemotongan, ternak masih diperlakukan semena-mena. Dampak dari cara pemotongan yang tradisional tersebut, diperoleh daging yang berkualitas rendah. Selain itu, dalam proses pasca pemotongan ternak, hampir tidak pernah dilakukan pelayuan, daging atau karkas langsung dibawa oleh pedagang dan dijual dalam “keadaan panas” (hot meat). Keadaan ini dilakukan karena konsumen lebih menyukai daging panas dari pada daging dingin (chill meat atau frozen meat).
Hal inilah yang menyebabkan seluruh RPH bekerja pada malam hari, karena setelah dilakukan pemotongan, pada malam itu juga daging didistribusikan ke pasar-pasar yang mulai berdagang pada dinihari dan sampainya di konsumen rumah tangga pada pagi hari Kenyataan tersebut yang menyebabkan, turunan bisnis pemotongan sapi yang berlanjut pada kegiatan “prosessing meat” atau “meat handling” berjalan dan dilakukan secara terpencar di masing-masing pasar, bukannya disuatu tempat yang mudah diawasi. Akibatnya seluruh bisnis ini menjadi tidak efesien, para jagal tidak menikmati keuntungan yang seharusnya diperoleh lebih besar, demikian pula halnya pemerintah tidak memperoleh manfaat dan sangat sulit melakukan pembinaan kepada para para jagal dan bisnis turunannya.
-Seluruh isi diambil dengan pengubahan seperlunya dari paper Rochadi Tawaf - Seminar Nasional IV Peternakan Berkelanjutan FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
Jatinangor, 7 Nopember 2012 -